Day #3 Anak Suka Teriak-teriak? Jangan Marahi, Temukan Cara Efektif Meredamnya

by - Juni 16, 2019

Puzzle Susah Aku Marah



Masih terpatri dalam ingatanku, saat Oky kecil tetiba teriak seketika almarhum ibu menutup mulut ini dengan tangannya hingga meninggalkan bekas panas di sekitar mulut. "Teriak lagi?" katanya sambil melotot. Almarhum ibu sangat tidak suka dengan kebiasaanku yang suka teriak waktu kecil. Kini sama rasany ketika melihat Abhi teriak-teriak dengan suara melengkingnya, aku mulai naik darah. Semakin hari membersamainya dan semakin banyak belajar parenting, aku sadar kalau bersikap keras pada anak tidak memperbaiki hanya membuat luka dihatinya.

Waktu menunjukan di angka 10 siang, saatnya Abhi memulai kegiatan motessorinya. Aku akan memulai dengan meningkatkan kecerdasan intelektualnya dengan kegiatan kognitif belajar mengenal angka dengan puzzle dan buku counting (berhitung). Aku menyiapkan puzxle dan buku untuk belajar sambil menggandengnya kemudian duduk di sebelah kiriku. Aku targerkan belajar ini bisa berlngsung lancar dalam durasi 30 menit.

"Yuk main puzzle sambil belajar angka, baca buku sambil belajar angka. Berdoa dulu sebelum belajar, bismillahirohmanirrohim Ya Allah Abhi mau beljar angka berilah kemudahan saat belajar" ajarku padanya.

Kemudian aku mendemokan bagaimana menyusun puzzle dimulai dari angka satu. Abhi melihat dengan ekspresi penasaran.
"Sekarang Abhi yang pasang puzzlenya ya, mulai dari angka satu" ajakku padanya.



Dengan kepayahan dia memutar-mutar puzzle biar bisa masuk dan terpasang baik. Menginjak angka puluhan dimana puzzle lebih besar dan lekukan lebih banyak, Abhi mulai kesulitan memasangnya. Kemudian dia teriak dan melepaskan puzzle dari genggamannya merengek minta nenen.

"Boleh nenen sebentar nanti pasang angkanya lagi ya" perintahku padanya. Aku masih bertoleransi besar karena Abhi yang belum bisa mengelola emosinya.

Beberapa saat, "Udah ya nenennya, sekarang pasang puzzle angkanya lagi, anak bunda kan pinter" rayuku.

Tapi dia tak mau teriak dengan kencangnya, sontak aku tutup mulutnya namun tidak dengan tekanan, sambil ku berkata. "Abhi mau apa? kalau teriak bunda nggak tahu Abhi mau apa".

Namun langkah ini tidak menghentikan teriakannya, kemudian aku bisiki telinganya "Bicara pelan-pelan ya sayang, nggak usah teriak-teriak". Alhamdulillah berhenti teriakannya, ternyata semakin aku memelankan suara, semakin pelan juga teriakannya dan berhenti ketika dia paham apa yang dilakukan tidak benar.

Ku peluk badannya, "Abhi pasti bisa, kalau susah coba lagi, Abhi kan anak pandai" kataku. Emosiku sungguh diuji dalam seperempat pertama belajarnya. Akhirnya dia mau kembali memasang puzzle angka dan membuka buku berhitung sambil ku jelaskan gambar-gambar yang tercetak di dalam buku itu.

"Alhamdulillah belajar angka sudah selesai, diingat ya sayang angka satu sampai sepuluh" kataku padanya saat mengakhiri game siang itu.

Dari kacamata psikologi, ada beberapa penyebab yang mendasari kenapa anak suka bicara dengan teriak-teriak.Di antaranya:

🌾 Cari perhatian.

Ingat, anak prasekolah belajar dari lingkungan.Ketika lingkungan memberi respons "istimewa" saat ia melakukan cara tertentu, anak akan mengulanginya lagi.
Sayang, karena biasanya respons yang berlebihan justru kita berikan saat anak berperilaku tidak menyenangkan, seperti bicara sambil teriak-teriak.
Respons kita (marah-marah atau sekadar mendelikkan mata) akan membuatnya senang dan berniat mengulanginya.

🌾 Sifat ego.

Anak usia prasekolah masih dikuasai egosentrisme. Ia tak mau tahu bahwa ada yang tak nyaman dengan gaya bicaranya itu.

🌾 Kemampuan bicara.

Kemampuan bicara atau berbahasa si prasekolah sedang pesat-pesatnya. Ia bisa mengutarakan sesuatu dengan kalimat yang utuh dan lancar. Ia melakukan "eksperimen" dengan berbicara keras seperti orang yang berteriak-teriak.

🌾 Meniru.

Si prasekolah bisa juga bicara berteriak-teriak lantaran meniru orang dewasa di sekitarnya. Anak usia dini belajar dari lingkungan dengan cara meniru. Untuk itu kita perlu mengubah perilaku terlebih dulu, sebelum mengharapkan anak berubah.

🌾 Belum bisa melampiaskan emosi secara positif.


Anak usia prasekolah belum sepenuhnya dapat melampiaskan emosi secara positif. Ketika menghadapi ketidaknyamanan, ia memilih berteriak-teriak demi melampiaskan emosinya. Keadaan ini bisa makin parah jika orang dewasa yang ada di sekitar anak juga kerap berperilaku emosional.

Solusi

Tentu tidak ada masalah yang tidak punya jalan keluar. Untuk menghadapi anak yang masih suka bicara teriak-teriak, beberapa langkah ini dapat membantu:

🌱 Beri pengertian.

Tekankan pada anak bahwa tanpa berteriak pun dia akan mendapat perhatian dari orangtua dan orang di sekitarnya. “Sayang, enggak usah teriak-teriak gitu. Mama dengar kok.” Hindari kata-kata panjang lebar dan berkesan menasihati. Pengertian juga bisa diberikan lewat dongeng, bermain atau kegiatan lain yang menyenangkan.

🌱 Introspeksi.

Apakah selama ini ada anggota keluarga dewasa yang berkomunikasi dengan nada berteriak?
Ajaklah yang bersangkutan menghilangkan kebiasaan bicara dengan nada tinggi kalau tak mau gaya ini ditiru anak.

🌱 Jadi teladan

Pada intinya, bila ingin men-gubah cara bicara anak menjadi lebih manis, lemah lembut, dan lebih sopan, jadilah teladan baginya.
Tak perlu membalas teriakannya dengan bicara keras pula.
Mulailah dari diri kita untuk menurunkan volume suara.
Tatap mata anak dan bicaralah dengan halus (sedikit berbisik) namun tegas.
Dengan cara ini biasanya anak akan terdiam dan mulai mendengarkan suara kita, karena penasaran, “Apa nih yang sedang diomongin Mama, kok bisik-bisik?" Biasakan berkomunikasi dengan siapa pun termasuk dengan anak dalam volume suara sedang.

🌱 Kecilkan volume teve, CD player, radio, dan lainnya.

Ini yang terkadang tidak di-sadari, anak berteriak demi menyaingi suara lingkungan yang gaduh. Perhatikan perangkat audio visual di rumah, apakah kerap disetel dengan volume tinggi? Kalau ya, segera ciptakan suasana rumah yang tenang agar anak pun tidak perlu berteriak jika ingin bicara.

🌱 Hindari keinginan balas berteriak.

Mendengar si prasekolah berteriak bisa mendorong kita untuk balas berteriak, bukan? Reaksi ini wajar tetapi kurang bijaksana.
Sekali lagi, berteriak untuk menghentikan teriakan anak, justru memicu kompetisi dan mengilhaminya untuk lebih meningkatkan volume teriakan. Anak juga membuat tindakan itu sebagai alasan, "Ayah Ibu juga teriak, masa aku enggak boleh!"

🌱 Ajari anak mengatur volume bicaranya.

Terkadang anak tidak dapat mengatur volume suaranya karena tidak ada masukan dari orang-orang di sekitarnya.
Beri ia gambaran seperti apa volume suara yang tidak mengganggu lingkungan itu.
Suara yang terdengar di dalam ruangan tentu berbeda dari yang di luar ruangan. Bantu anak menyadari hal itu dan mulai belajar “menyetel”volume suaranya sesuai tempat keberadaan.

🌱 Abaikan.

Kadang-kadang sikap mengabaikan diperlukan demi mengatasi anak yang mencari perhatian dengan berperilaku buruk.
Jika sudah diberi tahu bahwa suara-nya amat menganggu, namun ia tetap bicara keras-keras, coba abaikan saja dia.
Baru, sesudah ia mau menurunkan volume suaranya, kita tersenyum padanya dan memenuhi permintaannya.
Ini akan mendorong anak untuk mengubah kebiasaan buruknya itu karena sadar ia hanya akan mendapat perhatian kala ia bicara dengan sopan.

🌱 Ajarkan bagaimana menyelesaikan masalah secara positif.

Di kala emosi tengah memuncak, terkadang kita memarahi anak dengan berteriak-teriak.
Sungguh sangat ideal, bila kita dapat mengontrol emosi dan bisa menyelesaikan segala permasalahan dengan tenang, sehingga anak belajar dengan mencontoh cara menyelesaikan masalah tanpa sikap emosional.

🌱 Permainan mengontrol suara.

Ada beberapa permainan yang dapat membantu anak mengontrol suaranya, se-perti permainan saling bisik. Berikan satu kata yang harus disampaikan kepada temannya dengan cara berbisik. Begitulah, berbagai cara perlu kita coba untuk mengo-reksi perilaku anak yang suka berteriak-teriak ini, karena setiap anak adalah unik. Satu hal yang pasti, saat anak sudah menunjukkan perilaku yang kita inginkan, beri ia respons positif.

Sudahkah aku memberi teladan berkomunikasi yang baik pada Abhi ?

Sudah baikkah aku mengelola emosi ?


Setelah ku ingat-ingat, kebiasaan Abhi berteriak karena pertama komunikasi bahasa verbalnya belum lancar dan dia ingin selalu diperhatikan.



Sumber
Saeful Imam. 2018. https://nakita.grid.id/amp/0230766/anak-suka-teriak-teriak-jangan-marahi-begini-cara-efektif-meredamnya?page=all



#hari3
#T10hari
#gamelevel3
#bunsayjateng
#meningkatkankecerdasananak
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional







You May Also Like

0 komentar