DELAPAN bulan lalu, datang ke rumah Abim kucing jantan belang, abu dan putih. Jika dilihat dari kumisnya yang masih pendek, kelihatannya ia masih anak-anak. Dia mengeong terus menerus dan tak mau pergi setelah itu, tak seperti kebanyakan kucing lain yang berdekam di halaman.
Suatu siang di musim hujan. Abim membuka sedikit pintu rumah untuk melihat air hujan yang turun.
"Bunda, kucing kecil mau masuk rumah," kata Abim pada ibunya.
"Aku mau di rumah Abim aja ah," kata kucing belang itu.
"Biarkan dia masuk, boleh pegang jangan diremas ya," sahut bundanya yang masih memegang gagang sapu lantai.
Mula-mula ia malu-malu masuk rumah. Seperti kepada kucing lain, Abim merangkul dan memeluknya. Tapi tak seperti kucing lain, kucing ini tak berontak atau mencakar ketika disentuh. Dia malah sering naik ke pangkuan jika ada orang yang duduk di sofa atau menggesek-gesekkan badan ke kaki siapa saja.
"Bun, kucingnya biar disini sama aku ya," pinta Abim pada bundanya.
"Janji Abim bisa kasih makan kucing sehari 3x ?" tanya ibunya pada Abim.
"Abim janji," sambil menyodorkan jari kelingkingnya.
Bunda dan Abim sepakat mengadopsinya. Ia diizinkan tidur di rumah, makan, dan naik ke ranjang. Kami menamainya “Si Belang” karena selalu bersuara dalam keadaan apa pun: waktu makan, jika minta dibelai, bahkan jika Bapak pulang kerja di malam hari dia mengeong seraya bersiap menyambut di pintu.
Si Belang telah menjadi alarm yang lebih tepat dibanding weker. Tiap jam 5 pagi ia berbunyi, menggaruk pintu kamar, bahkan lari masuk ke dalam selimut mencari jempol kaki. Dia telah menjadi anggota keluarga kami yang ke-4.
"Wao, ada ikan di meja," belang betkata sambil meloncat ke atas meja makan.
"Bun, belang ambil ikan !" teriak Abim mengejutkan.
Hanya sekali ia mencuri ikan dari meja makan. Setelah Bunda memarahinya, paling banter ia mengeong di kaki kami ketika makan malam. Belang tak berani lagi mengambil apa pun yang tak diberikan di piringnya. Apakah kucing mengerti bahasa manusia?
Si Belang sudah menjadi kucing jejaka, malu-malu mendekati teman betinanya. Banyak cara dia mendapatkan mangsanya, seperti tikus kecil, cicak, kepala ikan lele di warung sebelah.
"Bunda awass, Belang tidur di keset," kata Abim sedikit berbisik takut Si Belang terbangun.
"Bun, Belang senyum-senyum sendiri, luucuuuu," cakap Abim mengamati polah Belang yang masih terlelap.
"Mimpi ya Si Belang," jawab bunda.
"Mimpi apa ya dia Bun?" tanya Abim seraya menebak-nebak.
“Ibu! Ibu! Ibu!”, tidak ada sahutan. “Ibu! Ibu! Ibu!”, tidak ada jawaban. “Ibu! Ibu! Ibu!”, kali ini aku berteriak lebih kencang berharap ibuku segera datang. Kutunggu beberapa saat lalu ibu muncul.
Belang dan Ibu bertemu saling menatap dan bergumul saling melepas rindu.
Rupanya Si Belang bermimpi memanggil-manggil Ibunya,kemudian bertemu dengan Ibu Belang yang sudah lama tidak dia jumpai. Belang mimpi dijilati muka, perut oleh ibu belang untuk membersihkan kotorannya. Bermain-main bersama Ibu Belang, saling menggelitiki, sayang hanya dalam mimpi.
"Meong ... meong ... meong," suara Si Belang seketika matanya terbelalak.
Belang menyadari dia hanya bermimpi. Kucing beranjak dewasa yang terpisah dari ibunya, tengah rindu dekapan kasih ibunya.
Belang Rindu Ibu
Ide cerita : Bapak dari Abhimata
Isi cerita : Bunda dari Abhimata
Penikmat : Abhimata
Reaksi anak mendengar dongeng kucing ini.
Ketika saya perlihatkan gambar kucing yang menjadi ilustrasi cerita di atas, Abhi langsung tersenyum melihat kucing belang ini. Abhi mendengarkan dari awal hingga akhir cerita baru dia tidur.
Ucapannya di akhir cerita Cat Can Dreams, "nda sayang". Hati saya terasa ada bunga-bunga disekelilingnya. Ternyata pesan rasa kasih sayang antara ibu dan anaknya diterima oleh Abhi dengan baik melalui dongeng di atas.
Love you, Abhi.
0 komentar